Beberapa bulan yang lalu aku menjaga ibu di salah satu rumah sakit
swasta di Balige. Pada pukul 2 pagi, datang pasien baru di kamar tempat
ibuku dirawat. Pasien baru itu berumur 50 tahun dan diantar seorang anak
kecil berumur 10 tahun dan duduk di kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Sebelum
pasien baru itu masuk, jumlah pasien di kamar itu 4 orang, dan semuanya
perempuan dengan umur rata-rata 50 tahun.
Pasien baru itu hanya membawa tas kecil yang isinya sepasang baju
tanpa membawa persediaan tempat minum, selimut, sisir, atau perlengkapan
lainnya. Pada pukul 4 pagi, dia menyanyikan lagu-lagu gereja dengan
fasih, tetapi fals. Tingkah lakunya itu mengusik pasien yang ada di
kamar itu, apalagi pasien yang dekat dengannya. Kami agak jauh darinya.
Sambil menyanyi, dia menggigil karena kedinginan dan memanggil-manggil
nama Tuhan.
Melihat si pasien baru itu kedinginan, aku seorang yang
masih sangat muda memberikan selimut, walaupun ibuku tidak menyetujuinya
dengan alasan supaya aku dapat merawat ibu dengan baik. Maklum, udara
Balige amat dingin saat itu. Ketika aku berikan selimutku, dia pun
memegang tanganku dan mencubit pipiku dengan gemas.
Pada pukul 5
pagi, aku berdoa dan membaca Alkitab. Sampai pukul 5.30 setelah selesai
aku berdoa, semua pasien dan penjaga masih tertidur lelap. Aku melihat
anak kecil yang membawa si nenek itu tidur meringkuk di lantai karena
kedinginan. Aku sangat kasihan melihatnya dan akupun memberi baju
hangatku yang masih kupakai, karena kupikir aku akan lari pagi yang
nantinya akan hangat setelah berlari. Pada saat aku berlari, udara
Balige teramat dingin dan akupun sempat menggigil karena dinginnya luar
biasa. Di tengah jalan, aku minta dibuatkan air teh hangat di sebuah
kantin. Setelah aku pulang ke rumah sakit, para pasien dan penjaga telah
terbangun dan para mahasiswa perawat praktik sibuk membersihkan lantai.
Aku duduk santai di pekarangan rumah sakit yang persis di depan kamar
ibuku dirawat. Si nenek itu menghampiri dan mengajakku bernyanyi
lagu-lagu gereja sambil tepuk tangan. Jujur saja, nenek itu jorok, bau,
dan rambutnya urakan, kakinya kotor, dan kukunya panjang. "Bapa Manurung
(panggilan si nenek kepada aku), ayo kita menyanyi," katanya. Hampir
semua orang yang melihat kami merasa jengkel. Anehnya, pasien yang dekat
si nenek menuduh aku yang membuat semua itu terjadi.
"Manurung,
semua itu karena kamu terlalu memanjakan si nenek gila itu," kata ibu
itu. Ibuku menjadi marah padaku, karena ibuku menganggap aku batu
sandungan. Bagiku tidak masalah tudingan orang, pada dasarnya di mataku
semua orang sama. Aku tidak lebih hormat kepada pejabat, pendeta, orang
kaya, atau siapapun jika dibandingkan rasa hormatku terhadap orang gila.
Semua saudaraku dan ibuku tahu sifatku itu. Aku sering protes kepada
Tuhan dan kukatakan, Tuhan, jika Kamu mengasihiku, mengapa Engkau
sepertinya tidak mengasihi orang gila itu? Walaupun protes, aku harus
hormat kepada keputusan Tuhan atas dunia ini. Setelah tiga hari, nenek
itu diprotes oleh yang satu kamar. Akhirnya, pihak rumah sakit
memindahkannya ke ruangan khusus. Pada saat akan pergi ke ruang khusus,
si nenek bertanya,"Bapa Manurung, aku bawa selimutmu dan bajumu yang
sangat bagus ini ya," katanya dengan penuh harap.
Aku mengiyakan
dengan rasa haru yang mendalam. Aku ikut mengantarnya sambil melipat
selimut dan bajunya yang bau. Dalam hatiku, aku protes kepada perawat
yang tidak membersihkan si nenek dengan baik. Perawat enggan merawat
dengan alasan keluarganya saja tidak peduli dan banyak protes lagi.
Setelah di ruang khusus, si nenek masih tetap berulah dan selalu keluar
ruangan dan memanggilku kembali untuk menyanyikan lagu-lagu gereja. Si
nenek semakin bertingkah.
Si nenek bilang rumah sakit itu akan
diajukan ke pengadilan karena tidak serius menanganinya. Makin hari si
nenek makin suka berteriak dan membeberkan perilaku perawat terhadapnya
selama di ruang khusus.
Anehnya lagi, dia tidak mau diam jika
bukan aku yang mendiamkannya dengan lembut dan tulus. Jika mau jujur,
aku tulus memberi kasih kepada nenek itu. Sementara itu, perawat dan
mahasiswa praktik sudah semakin jengkel melihat tingkah si nenek. Si
nenek selalu teriak bahwa dia akan mengajukan perilaku para perawat itu
ke direktur rumah sakit.
Aku selalu berusaha menyadarkan para perawat
dan mahasiswa praktik tidak perlu menanggapi teriakan si nenek.
Kelihatan sekali mahasiswa akademi perawat itu mau menurutiku karena
direktur mereka di kampus adalah sahabat karib aku pada waktu mahasiswa
dulu. Aku agak ragu melihat ketulusan di hati mereka untuk merawat si
nenek itu, apalagi sudah 5 hari di rumah sakit, tak seorangpun
keluarganya menjenguk. Pihak rumah sakit pun mulai curiga, bagaimana dan
siapa yang menanggung biaya rumah sakit.
Melihat keadaan itu,
pada hari keenam aku mulai menanyakan kepada anak kecil yang kelas 4 SD
itu tentang perihal tempat tinggal dan latar belakang mereka. Ternyata
mereka berasal dari Desa Muara Kabupaten Tapanuli Utara (TAPUT). Menurut
anak kecil itu, si nenek memiliki banyak pohon mangga, anak perempuanya
masuk saksi Yehova dan sedang sakit tumor ganas dan tergeletak di
rumah, menantunya tiga bulan yang lalu meninggal bunuh diri karena
ditinggal suaminya pergi ke Tanjung Pinang, Provinsi Riau. Aku sangat
kaget mendengar cerita anak kecil itu.
Setelah anak kecil itu
bercerita, dia minta aku untuk mengantarnya ke pelabuhan Danau Toba
karena masyarakat dari Desa Muara akan datang ke Balige. Anak kecil
itupun permisi kepada si nenek dan si nenek berpesan agar anak kecil itu
menitipkan mangga kepada aku.
Ketika kami tiba di pelabuhan
Danau Toba, masyarakat Muara yang hadir di situ menanyakan dengan siapa
anak kecil itu berada di situ dan kaum bapak sangat curiga dengan
keberadaan aku. Anak kecil itu menceritakan semuanya dan seorang
perempuan separuh baya menanyakan siapa yang bertanggung jawab tentang
hal biaya pengobatan kepada aku. Kebingungan menghantui pikiranku dan
semakin tidak mengerti tentang keadaan yang sebenarnya. Anehnya, mereka
sangat marah kepadaku dan akupun hanya berserah kepada Tuhan. Aku
menjelaskan keberadaanku dan meminta salah satu dari keluarga terdekat
untuk membicarakan semuanya dengan pihak rumah sakit, tetapi di antara
mereka tidak ada yang mengaku keluarga dekat.
Kapal sudah mulai
berbunyi menandakan kapal menuju Muara akan segera berangkat. "Tulang
(panggilan anak kecil itu kepadaku) aku mau pulang supaya aku bisa
sekolah besok," katanya.
Aku melihat kesedihan di wajah anak
kecil itu, aku pun memeluknya dan mengatakan supaya rajin belajar. Aku
melambaikan tanganku ke anak kecil itu sambil berdoa, "Tuhan, pakailah
anak itu menjadi berkat". Aku sangat mengasihi kepda anak kecil itu.
Sembunyi-sembunyi.
Pada
hari ke-10, seorang perempuan separuh baya secara sembunyi-sembunyi
mendekati nenek itu. Dia sangat terkejut ketika melihat aku tiba-tiba
masuk kekamar si nenek. Mungkin pikirannya aku adalah pihak rumah sakit.
Aku menerka bahwa perempuan separuh baya itu keluarganya yang ketakutan
jika membicarakan biaya rumah sakit. Perempuan itu rupanya hendak
membawa nenek pulang. Dengan lembut aku meminta supaya perempuan itu mau
menemaniku untuk membicarakan hal ini dengan pihak rumah sakit, apalagi
rumah sakit itu adalah milik institusi gereja besar di Balige. Setelah
pembicaraan yang amat panjang, perempuan itu bersedia membayar 25% dari
keseluruhan biaya dan pihak rumah sakit milik yayasan gereja itupun
menyetujuinya.
Sebelum mereka pulang, aku meminta supaya kami berdoa
dulu. Setelah berdoa, aku mengantarkan mereka ke pintu rumah sakit dan
nenek itu menanyakan,"Bagaimana dengan selimut dan bajumu Bapa
Manurung?"
Aku mengatakan, dengan ketulusan hatiku, bawalah dan
buatlah itu sebagai kenangan yang indah. Nenek itu memelukku dan
meneteskan air matanya. "Selamat jalan, nek."
Aku menghampiri
ibuku yang sakitnya 70% sembuh. Dia mengatakan, "Apa kerjamu di Jakarta,
pantaslah kamu anak perantau yang paling miskin, padahal sekolahmu jauh
lebih tinggi dibandingkan anak-anak di kampung kita."
Aku menjawab
dengan lembut, "Bukankah segala-galanya kutinggalkan demi merawat mama?
Bukankah banyak orang lebih mementingkan uang dari merawat ibunya?
Bukankah orang membangun kuburan yang mahal, padahal semasa hidupnya
diabaikan? Coba, anak mama tidak peduli segalanya demi merawat mama."
Ibukupun
memelukku dan menangis. Aku berkata dengan penuh kasih sayang, "Mama,
mulai saat ini serahkanlah hidupmu sepenuhnya kepada Tuhan, sebab mama
kemarin Haemoglobin (Hb) cuma 2, Sekarang sudah sehat. Terpujilah nama
Tuhan."
Kesaksian: Gurgur Manurung
Kesaksian: Gurgur Manurung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar